Kontribusi Hilirisasi Perkebunan bagi Kesejahteraan Masyarakat di NKRI

Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat serius untuk mengakselerasi dirinya menuju negara maju atau dikenal dengan sebutan Indonesia Emas pada 2045 mendatang. Salah satu caranya yang intens adalah melakukan strategi jitu dengan mendorong program hilirisasi di berbagai sektor unggulan sumber daya alam tanah air yang tersebar dari Aceh hingga Papua.

Salah satu wujud hilirisasi yang gencar dilakukan pemerintah itu, kini sudah mulai tampak. Di sektor pertambangan, misalnya, kini didorong untuk mendirikan smelter-smelter sehingga komoditas mentah tambang, seperti nikel, timah tembaga, dan sebagainya bisa diolah lebih lanjut menjadi produk bernilai tambah tinggi.

Sebenarnya, aktivitas hilirisasi bukan hanya milik sektor pertambangan semata. Hilirisasi juga bisa dilakukan terhadap semua komoditas. Demikian juga dengan pelakunya. Tak hanya pengusaha besar, pelaku hilirisasi bisa saja dilakukan pelaku yang berskala Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal.

Hilirisasi merujuk pada upaya pengembangan industri atau kegiatan ekonomi di sektor hulu atau pengolahan produk alam agar lebih bernilai tambah. Dalam konteks pemerintahan atau ekonomi suatu negara, hilirisasi sering kali diupayakan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi nasional. Hal ini dapat melibatkan pengolahan dan produksi lebih lanjut dari sumber daya alam, sehingga produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah yang lebih tinggi. Hilirisasi dapat memberikan manfaat seperti penciptaan lapangan kerja, diversifikasi ekonomi, dan peningkatan pendapatan negara.

Hilirisasi perkebunan di indonesia saat ini, mengacu pada upaya meningkatkan nilai tambah produk pertanian melalui pengolahan lebih lanjut. Hal ini tentu saja, harus melibatkan pengembangan industri pengolahan untuk menghasilkan produk-produk turunan, seperti minyak kelapa sawit, kopi olahan, atau lada olahan.

Dengan melibatkan proses hilirisasi, Indonesia dapat meningkatkan pendapatan sektor pertanian dan membuka peluang untuk menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat di tanah air.

Perkembangan hilirisasi perkebunan di Indonesia terus berkembang, dengan upaya untuk meningkatkan nilai tambah produk. Beberapa sektor, seperti kelapa sawit, kakao, karet, dan kopi saat ini terus mengalami peningkatan dalam diversifikasi produk dan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi.

Meski demikian, tantangan terkait keberlanjutan dan dampak lingkungan juga menjadi fokus untuk dicapai Pemerintah Indonesia.

“Hilirisasi itu bukan hanya untuk (industri) yang besar-besar. Bukan urusan nikel atau tambang tembaga saja, bahkan yang UMKM pun kita harus hilirisasikan semua produk yang masih mentah nilai ekonominya,” kata Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

Presiden pun mencontohkan salah satu UMKM anggota Hipmi Banten yang memproduksi kopi bubuk kemasan serta gula semut lokal dari provinsi tersebut. “Ini kopi alami yang tanaman kopinya ada di Banten, saya lihat bagus sekali setelah (kopi) di-roasting kemudian masuk packaging seperti ini. Ini bagus sekali, brand 'Haji Rocker Coffee' ini bagus sekali,” ujar Presiden Jokowi.

Presiden pun berharap, praktik hilirisasi industri bisa diikuti oleh UMKM di daerah-daerah lain di Indonesia, dengan dimotori oleh para pengusaha muda yang kreatif dan inovatif. “Jangan sekali-kali kita lanjutkan ekspor dalam bentuk biji (kopi) mentahan. Buat seperti ini (produk olahan). Kuasai pasar di dalam negeri, begitu kita siap (dengan industri olahan) baru diekspor semua,” tutur dia.

Selain kopi, Presiden Jokowi menginginkan hilirisasi untuk komoditas lain, seperti rumput laut dan kelapa sawit. Menurut Jokowi, hilirisasi tidak hanya penting dilakukan untuk menambah nilai jual, tetapi juga untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, yang kemudian akan meningkatkan penerimaan negara.

Melalui hilirisasi industri, kata Presiden, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pendapatan per kapita penduduk Indonesia akan meningkat menjadi USD 10.900 pada 2033 dan mencapai USD 25.000 pada 2045.

“Inilah tujuan kita, tidak hanya visi besar (2045) tetapi kita harus memiliki visi taktis,” kata Jokowi.

Pernyataan itu, dikemukakan langsung Presiden Jokowi di acara pembukaan Rapat Kerja Nasional XVIII Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) 2023 di Tangerang, Banten, pada Kamis (31/8/2023). Menurut Kepala Negara, upaya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ikut mendukung hilirisasi industri patut diapresiasi. (Indonesia.go.id : 4 September 2023).

Hilirisasi perkebunan di Indonesia memiliki beberapa manfaat, antara lain, yakni Pertama, Peningkatan Nilai Tambah: Dengan mengolah produk perkebunan lebih lanjut, nilai tambah produk meningkat, memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar.

Kedua, Penciptaan Lapangan Kerja: Industri pengolahan perkebunan yang berkembang dapat menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi tingkat pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, Diversifikasi Ekonomi: Hilirisasi membantu diversifikasi struktur ekonomi, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan membuat ekonomi lebih tahan terhadap fluktuasi pasar global.

Keempat, Peningkatan Pendapatan Petani: Petani dapat memperoleh manfaat lebih besar dengan menjual produk pertanian yang sudah diolah, karena harga produk olahan biasanya lebih tinggi daripada bahan mentah.

Kelima, Pengembangan Industri Lokal: Hilirisasi mendorong perkembangan industri lokal, menciptakan peluang bisnis dan meningkatkan kapasitas produksi nasional.

Keenam, Peningkatan Daya Saing Global: Produk hilir yang berkualitas tinggi dapat meningkatkan daya saing di pasar global, membuka peluang ekspor yang lebih baik dan berkelanjutan.

Ketujuh, Peningkatan Kemandirian Pangan: Dengan mengolah lebih banyak produk perkebunan secara lokal, Indonesia dapat meningkatkan kemandiriannya dalam memenuhi kebutuhan pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor.

Kedelapan, Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Lebih Berkelanjutan: Hilirisasi dapat membantu mengelola sumber daya alam dengan lebih berkelanjutan melalui pemanfaatan yang lebih efisien dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, tak dapat dipungkiri bahwa hilirisasi perkebunan dapat memberikan kontribusi signifikan untuk pembangunan ekonomi dan sosial berkelanjutan di Indonesia guna meningkatkan nilai tambah produk perkebunan, memperkuat struktur industri dan UMKM di tanah air, dan sekaligus menciptakan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah NKRI.

 

Contribution of Downstream Plantation to Community Welfare in Indonesia

The unitary state of the Republic of Indonesia (NKRI) is very serious to accelerate itself towards developed countries or known as Indonesia Gold in 2045. One of the intense ways is to carry out a surefire strategy by encouraging downstreamization programs in various sectors leading to natural resources of the country spread from Aceh to Papua.

One of the manifestations of the government's intensified downstream, has now begun to appear. In the mining sector, for example, it is now encouraged to set up smelters so that mining raw commodities, such as nickel, copper tin, and so on can be further processed into high-value-added products.

In fact, downstream activities are not only owned by the mining sector. Downstreamization can also be done on all commodities. Likewise with the perpetrators. Not only large entrepreneurs, downstream actors can be done by local Businesses, Micro, Small, and Medium (MSMEs).

Downstream refers to the efforts of industrial development or economic activity in the upstream sector or the processing of natural products to be more value added. In the context of a country's government or economy, downstream is often sought to improve the efficiency and competitiveness of the national economy. This can involve further processing and production of natural resources, so that the resulting products have higher added value. Downstreaming can provide benefits such as job creation, economic diversification, and increased state income.

Downstreaming plantations in Indonesia today, refers to efforts to increase the added value of agricultural products through further processing. This, of course, must involve developing the processing industry to produce derivative products, such as palm oil, processed coffee, or processed pepper.

By involving the downstream process, Indonesia can increase agricultural sector income and open opportunities to create new jobs for people in the country.

The development of downstream plantations in Indonesia continues to grow, with efforts to increase the added value of products. Several sectors, such as palm oil, cocoa, rubber, and coffee are currently experiencing an increase in product diversification and technology utilization to improve efficiency.

However, challenges related to sustainability and environmental impacts are also a focus for the Indonesian Government to achieve.

“Hilirisasi it is not only for (industry) large-scale. Not the affairs of nickel or copper mines alone, even the MSMEs we have to irrigate all products that are still raw in economic value,” said President of the Republic of Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

The President also gave an example of one of the MSMEs of Hipmi Banten members who produce packaged coffee powder and local ant sugar from the province. “This natural coffee whose coffee plants are in Banten, I see very good after (coffee) roasting then enter packaging like this. This is very good, this 'Haji Rocker Coffee' brand is very good,” said President Jokowi.

The President also hopes that the practice of downstreaming the industry can be followed by MSMEs in other areas in Indonesia, with driven by creative and innovative young entrepreneurs. “Do not ever continue to export in the form of seeds (coffee) raw. Make it like this (processed products). Master the market in the country, once we are ready (with processed industries) just exported all,” he said.

In addition to coffee, President Jokowi wants downstreaming for other commodities, such as seaweed and palm oil. According to Jokowi, downstreaming is not only important to add value to sales, but also to open more jobs, which will then increase state revenue.

Through downstreaming the industry, the President said, the National Development Planning Agency (Bappenas) estimates the per capita income of the Indonesian population will increase to USD 10,900 by 2033 and reach USD 25,000 by 2045.

“This is our goal, not only a great vision (2045) but we must have a tactical vision,” Jokowi said.

The statement, put forward directly by President Jokowi at the opening of the National Working Meeting of XVIII Indonesian Young Entrepreneurs Association (HIPMI) 2023 in Tangerang, Banten, on Thursday (31/8/2023). According to the Head of State, the efforts of Micro, Small and Medium Enterprises (UMKM) who participate in supporting the downstreamization of industry are appreciated. (Indonesia.go.id: 4 September 2023).

Downstreaming plantations in Indonesia has several benefits, among others, namely First, Increased Value Added: By processing further plantation products, product added value increases, providing greater economic benefits.

Second, Job Creation: The growing plantation processing industry can create new jobs, reduce unemployment rates, and improve the welfare of the community.

Third, Economic Diversification: Downstreaming helps diversify the economic structure, reduces dependence on exports of raw materials, and makes the economy more resilient to global market fluctuations.

Fourth, Increase in Farmer Income: Farmers can benefit more by selling farm products that have been processed, because the price of processed products is usually higher than raw materials.

Fifth, Local Industrial Development: Downstreaming fosters the development of local industries, creates business opportunities and increases national production capacity.

Sixth, Enhanced Global Competitiveness: High quality downstream products can enhance competitiveness in the global market, opening up better and sustainable export opportunities.

Seventh, Improved Food Independence: By cultivating more plantation products locally, Indonesia can increase its independence in meeting food needs and reduce dependence on imports.

Eighth, More Sustainable Natural Resource Management: Downstreaming can help manage natural resources more sustainably through more efficient and responsible utilization.

Thus, it is undeniable that downstream plantations can contribute significantly to sustainable economic and social development in Indonesia to increase the added value of plantation products, strengthen the industrial structure and MSMEs in the country, and simultaneously create the welfare of people throughout the NKRI region.

 

 

Penulis: 
agus purnama
Sumber: 
DPMPTSP